Tujuh kantong menumpuk di ruang tamu. Ibu dan Putri
baru pulang dari mal. Ayah memandang semuanya tanpa kata. Demikian juga Irvan.
Dalam situasi begitu, Ayah tahu, Ibu bisa sensitive mendengar komentar apapun.
“Belanjaan Putri banyak,” tutur ibu, entah ditujukan
kepada siapa. Putri menatap Ayah dan tersenyum penuh makna.
“Tidak apa-apa, asal sesuai kebutuhan,” kata Ayah.
“Hampir satu juta lebih,” gumam Ibu. Angka itu tidak
jelas
“Lebih dari satu juta, Mam. Persisnya satu juta enam
ratus empat puluh, belum termasuk taksi,” timpal Putri seraya menyodorkan
setumpuk nota.
“Duit kalau dibawa ke mal, nggak
ada harganya.”
”Maksud Mama?!?” tanya Ayah.
”Yaa, perasaan tadi Cuma belanja
sedikit. La
wong niatnya Cuma jalan-jalan. Eeeee,
malah belanja dan kebablasan!”
”Uang itu punya kekuatan aneh.
Rp 100ribu kalau dibawa ke mal terasa tak berharga. Tapi terasa terlalu besar
untuk dibawa ke masjid, untuk kotak amal. Karena itu, yang sering ke
masjid justru uang yang bergambar Kapitan Patimura. Bukan Bung Karno dan Bung
Hatta,” kata ayah.
”Padahal mereka lebih pantas ke
masjid karena sudah pakai kopiah,” seloroh Irvan.
”Umar bin Khattab memberi
pelajaran soal belanja. Ketika berjalan di pasar, kepala negara itu melihat
sahabatnya membawa banyak sekali barang belanjaan. Umar pun bertanya, mengapa
ia membeli begitu banyak barang?”
”Apa jawabnya?” tanya Irvan.
”Sahabatnya menjawab, karena ia
ingin membelinya! Mendengar itu, Umar marah. ’Apakah engkau akan membeli setiap
yang engkau inginkan?!’ Pertanyaan Umar itu relevan karena nyatanya memang kita
suka membeli sesuatu yang sesungguhnya tidak kita butuhkan. Hanya karena
menginginkan. Kebiasaan buruk tidak sesuai ajaran Islam!”
”Kita butuh kesalehan
finansial,” celetuk Irvan.
”Benar sekali! Orang dengan kesalehan
finansial cermat dalam memilih cara memperoleh uang dan teliti menggunakannya.
Uang mesti didapatkan dari sumber yang baik dan halal, dan dipergunakan untuk
hal-hal baik. Semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya. Di dunia dan di
akhirat.”
”Ya, Putri pernah membaca dalam
Al Quran, Allah membimbing kita bagaimana seharusnya seorang Muslim
membelanjakan hartanya. Tidak boros, tapi juga tidak kikir.”
”Itu surat al-Furqan ayat 67,”
tukas Ibu. ”Orang boros disebut temannya setan!”
”Boros dan kikir itu tindakan
tidak cerdas dan tidak saleh. Boros mencelakakan diri sendiri dan kikir membuat
orang lain menderita. He he he,” kata Irvan.
”Ada empat masalah yang akan
dipertanyakan di pengadilan akhirat. Sabda Rasulullah, pertanggungjawaban itu
menyangkut umur untuk apa dihabiskan, ilmu untuk apa dipergunakan, hartanya
dari mana didapatkan dan untuk apa dibelanjakan, tentangraganya untuk apa dia
pergunakan.”
”Soal kesalehan tadi?” tanya
Ibu.
”Intinya, bersikap bijak
terhadap uang. Sebab uang merupakan karunia Allah sekaligus amanah. Harus
disyukuri dan dipergunakan secara cermat. Hanya dipergunakan untuk yang
bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakat.”
”Alangkah bagusnya kalau
kesalehan finansial dimiliki penguasa, politis, anggota dewan, pejabat. Bisa
meredam syahwat korupsi untuk menimbun harta.”
”Jangan-jangan sekarang kita
sudah hidup di zaman yang pernah digambarkan Rasulullah sekian abad yang lalu. Kata
beliau, akan datang sebuah zaman dimana orang tidak lagi peduli dari mana dia
mendapatkan harta; apakah lewat jalur halal atau haram.”
”Sedihnya sekarang ini pelau
korupsi banyak juga dari kalangan perempuan. Mereka dikenal sebagai sosialita,
figur publik, dan pemegang jabatan terhormat,” celetuk Irvan.
”Mungkin Irvan pikir perempuan
lebih bersih, lebih tidak suka menyuap, dan memiliki moral yang lebih baik. Faktanya,
perempuan dan laki laki sama-sama berpotensi menjadi pelaku korupsi sekaligus
korban perilaku koruptif.”
”Kalau perempuan ikut-ikutan korupsi,
boleh jadi karena mereka minoritas yang berada di lingkungan buruk yang
mayoritas dikuasai laki-laki.”celetuk Putri.
”Ya sudahlah. Yang jelas korupsi
itu kejahatan berat yang harus ditindak tegas. Siapa pun pelakunya, lelaki atau
perempuan. Kan Rasulullah sudah tegas memberi contoh : Sungguh andai Fatimah
putriku mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya! Pernyataan
Rasul itu merespon permintaan agar memberi keringanan hukuman untuk pembesar
yang mencuri.”
Oleh : Zainal Arifin Emka
emkatanggul@gmail.com
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung, sampaikan salam anda disini ya :)