Saya mengenal sosok Cak Nun lebih pada karya kaset shalawat di tahun 90an bersama Kyai Kanjeng. Album berjudul Jaman wis akhir adalah kaset pertama yang saya tahu.
Selain itu
setiap ada EMHA di layar TV, ibu saya selalu menimpali.. oh iki wong
nJombang, tonggo desa-ne ibu! kemudian beiau berbangga-bangga
menceritakan bahwa kota kelahirannya banyak melahirkan kyai serta orang-orang
hebat seperti Cak Nun ini, lalu ayah saya pun biasanya langsung ngece .. Njombang
yoh sarange maling! entah merasa iri karena Bondowoso belum melahirkan
orang-orang hebat atau hanya bagian dari kemesraan.
Saya hanya
bengong karena juga tidak terlalu paham tentang siapa itu Cak Nun, sampai
akhirnya saya berangkat kuliah dan indekos di Kota Jember, kaset pita
shalawatan Cak Nun ini menjadi kaset yang saya putar hampir setiap hari
dengan Tape Cassette (radio tape) kecil hadiah dari Rinso,
karena ibu saya memajang produk Rinso di toko kelontong kami di Bondowoso.
Suara radio tape cempreng ketika dikecilkan volumenya,
tiba-tiba suara menghilang, kalau dibesarkan sontak melebihi suara TOA masjid
dan baru normal ketika digetok dengan penggaris. Seringkali Almarhum Bapak kos
menyindir dengan kalimat yang saya tidak paham maksudnya.. Rik aku loh yo duwe kaset shalawat cak nun.. ternyata
maksud beliau kalau muter kaset jangan keras-keras suaranya!
Ah .. masa yang penuh kenangan! Sekaligus masa ketika beberapa mbak Kos
memulai misi misionaris menyelundupkan pemahaman-pemahaman agama Islam sayap
kiri pada benak ini hingga akhirnya saya mulai belajar Islam
"introvert" yang jauh berbeda dengan apa yang saya pelajari di
langgar kampung ketika kecil.
Islam Introvert hanya sebutan saya saja ya, karena di dalam komunitas itu
hanya mau "berteman" dengan orang yang sepaham, satu guru, satu
komunitas dan bahkan menikah pun juga harus dari aliran yang sama!
Maka mengalirlah saya bersama arus tersebut hingga membawa saya ke Kota
Gresik selama satu tahun kemudian pindah ke Surabaya yang semakin menggelorakan
semangat belajar tentang Islam. Shalawatan ala Cak Nun tak lagi menjadi hiasan radio
tape karena beralih pada nasyid yang katanya musik itu haram dan melantunkan
shalawat itu bid'ah'!
Betapa merana-nya batin saya, tapi karena takut menjadi domba yang
tertinggal dari kerumunan dan ingin mendapatkan laki-laki soleh idaman,
akhirnya saya tetap mengikuti arus berenang-renang dalam kepayahan batin.
Sesekali saya membaca info pagelaran bang-bang wetan melalui tweeter,
yang menampilkan Cak Nun dan Kyai Kanjeng di salah satu gedung tua Kota
Surabaya, ketika itu saya belum mengenal apa itu maiyah, saya pikir itu adalah
pentas teater yang memang rutin diselenggarakan di Kota Surabaya.
Hati saya bersorak ingin datang menonton acara tersebut, tapi entah mengapa
selalu terhalang juga karena masih kos, takut pulang malam. Selain itu juga
salah satu "guru" yang sepertinya berusaha mencegah serta berusaha
men-sensor, buku-buku yang saya baca. Pernah suatu ketika saya membawa
buku karya Quraish Shihab, lalu tatapan suami guru saya berubah sinis, dan
"berucap hati-hati dengan penulis itu", karena alirannya
syiah. Padahal saya sangat suka membaca karya-karaya beliau, salah satunya adalah
buku Tuhan ada di mana-mana.
Kehidupan beragama saya menuju titik kejenuhan ketika tidak ada lagi
siraman rohani belajar ngaji seperti di awal-awal ikut
komunitas ini. Komunitas ini berubah menjadi komunitas partai yang sibuk
mencari suara dari pintu ke pintu rumah-rumah orang pinggiran. Berdalih berbuat
baik dan berdakwah, berbakti sosial dengan menyuarakan ayat berlomba-lomba berbuat
kebaikan, berinvestasi akhirat, membelanjakan harta di jalan Tuhan dan
sebagainya!
Tapi lupa mengurus anak-anak yang mulai remaja, lupa mengunjungi orang tua
di kampung, lupa tetangga sebelah punya hajatan disebabkan terlalu sibuk
mengumpulkan KTP dan membagikan bingkisan yang mereka sebut direct
selling. Apalagi di bulan Ramadhan, aktivitas semakin melonjak gila-gilaan.
Mulai dari target hafalan quran, shalat sunnah, berlomba-lomba khatam Al
Quran minimal 3x bahkan ada yang 5x dalam sebulan, bersedekah, qiyamul lail,
berbuka bersama dan agenda-agenda lain yang menyita waktu, tenaga juga kantong.
Lalu saya bergumam .. Islam kok repot sekali ya!
Oh ya kami juga di target untuk mencari ïnfaq dan zakat dengan mengedarkan
lembaran-lembaran formulir dari salah satu lembaga amil zakat yang berafiliasi
dengan komunitas ini, bayar zakat dan sedekah harus lewat lembaga itu. Ya bener
sih zakat itu wajib, tapi... niat dan tujuannya itu yang akhirnya
membuat amalan-amalan yang dikerjakan itu kok jauh dari perintah Allah dan
Rasul-Nya.
Hmm .. ada banyak cerita yang sebenarnya ingin saya sampaikan, tapi biarlah
itu menjadi bagian dari pengalaman beragama dan berorganisasi saya, karena saya
tidak ingin membuka aib orang lain. Kehidupan rohani yang kering karena agama
hanya berupa perlombaan materi mencari pahala membuat saya terpental dari
komunitas ini.
Keluar dari komunitas ini, saya sempat bertemu beberapa penganut Islam
dengan berbagai corak yang lebih mendalami hal-hal ghoib, kejawen, dan
sebagainya. hingga akhirnya bertemu Cak Nun kembali melalui video-video youtube
channel juga sempat hadir pada acara Sinau bareng di Bondowoso.
Entah magnet apa yang menarik saya untuk terus mengikuti video-video
rekaman Cak Nun baik yang sinau bareng, bang-bang wetan, padhang bulan, mocopat
syafa'at hingga kenduri cinta Jakarta. Semakin saya mengikuti
episode-episodenya semakin teduh batin ini, sampai-sampai saya pernah mimpi
didatangi Kyai Muzzamil, hingga akhirnya saya diberi kesempatan untuk bisa
sowan beliau meski baru lewat whatsapp.
Perkenalan dengan maiyah berlanjut ketika saya melihat salah satu episode
mocopat syafa'at', Cak Nun mengabarkan bahwa akan ada maiyah di Belanda,
namanya mafaza. Buru-buru saya googling dan ketemu
akun instagram @mafazaeropa dengan info event yang akan diselenggarakan di
Amsterdam bersama Dokter Eddot.
Kebetulan pulang kampung bulan Agustus
kemarin, saya menyempatkan diri "kulakan buku-buku" Cak Nun dan Mbah
Tedjo. Saya hadir di acara maiyah Belanda sekaligus ingin minta tanda tangan
dari Dr. Eddot, dokter yang merawat Cak Nun ketika gerah sekaligus yang menjadi salah satu
nara sumber pada buku Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib karya Dokter Ade Hasman.
Mafaza Eropa |
Buku kedua yang saya baca ini, Allah
tidak Cerewet seperti Kita, karya Cak Nun semakin membuka cakrawala
berpikir saya tentang bagaimana menjadi muslim, berislam dan tentunya menjadi
manusia yang ditakdirkan Tuhan lahir di Jawa kemudian ngampung
dolan hidup di Belanda bersuamikan orang keturunan Curacao - Suriname.
Membaca buku ini seolah saya sedang duduk
bersimpuh mendengarkan Cak Nun bercerita seperti pada simpul-simpul maiyah pada
umumnya, tarsenyum, tertawa bahagia, kemudian meneteskan airmata karena
ketakjuban pada kebesaran Tuhan, hingga beretorika pikiran menulis
pertanyaan-pertanyaan dari jawaban kehidupan yang sedang saya alami.
Secara pribadi saya tidak kenal dengan Cak
Nun dan Kyai Kanjeng, tapi hati saya jauh lebih mengenal beliau-beliau melalui
shalawat-shalawat cinta yang dulu saya dengarkan dari sebuah kaset dan radio
tape cempreng di sudut kamar kos Kota Jember.
Tak pernah terpikirkan oleh saya
keberkahan lantunan shalawat dan energi cinta Rasulullah itulah akhirnya yang
memeluk hati ini untuk kembali pada jalan-jalan sunyi menuju Tuhan .. Ahh Tuhan
memang Maha Asyik seperti kata guru Cak Nun, Mbah Sujiwo Tedjo! Betapa kehidupan itu penuh ketidak pastian menuju kepastian yaitu Mati.
Tulisan ini selesai disambut hujan gerimis
dan suara guntur yang menyapa langit gelap Kota Almere pagi ini, Allahuma Sholli
Ala Muhammad .. Ya Habibika Rasulullah Muhammad semoga keberkahan ilmu dan iman
ini terus mengalir
Sabtu Pon, 14 Desember 2019
Kota Almere Belanda
Hahahaha, kasetttt :D
ReplyDeleteSaya ingat punya walkman ya kalau nggak salah namanya, itu sebutan alatnya atau mereknya ya? :D
Sayangnya saya jarang nih liat videonya, saya tahunya Cak Nun bapaknya penyanyinya Letto yang suaranya mendayu-dayu itu :D
Kayaknya saya pengen beli bukunya deh, kok menarik juga, judulnya udah bikin kepo.
Oh ya, jadi ingat, dulu waktu kuliah memang benar tuh, saya sering banget pengen berteman sama orang-orang alim (baca : yang berjilbab), tapi saat itu saya belum berjilbab, dan setiap kali kami ke masjid kampus untuk mengaji (tugas mata kuliah Agama Islam), rasanya kok para wanita berjilbab itu kurang ramah terhadap kami, seolah mereka membentengi dirinya dari orang-orang belum berjilbab kayak saya.
Hai Reyne :)
Deleteterima kasih sudah mampir, iya bener dulu kesannya kalau yang ga pake jilbab seperti dipinggirkan, hihi walkman ga tau merk apa alatnya, tapi sepertinya mmg dulu sebutan walk man hit banget
Di Belanda kalau mau beli buku Islam Indonesia memangnya ada tokonya ya?
ReplyDeletegak ada :D
DeleteHi Mba,
ReplyDeleteAssalamu'alaikum, salam kenal.
bisa minta kontak/info perusahaan Udang yg di Gresik mba http://www.ngampungdolan.com/2018/05/mengenali-jenis-olahan-udang-beku.html