Sejatine Urip Mung Ngampung Dolan

Responsive Ads Here

Tuesday, June 7, 2011

Catatan Pinggiran Kota Surabaya (Cinta Mati Surabaya C**k!)


sumber : www.surabaya.go.id

Melalui jalan-jalan pinggiran kota Surabaya, adalah hal yang saya suka, terutama di waktu malam. Begitu banyak potret sosial yang sekilas hanya sebagai pelengkap kehidupan, tapi hal ini sebuah fakta.

Jalan-jalan pinggiran yang sering saya lewati ketika malam, antara lain daerah Jalan Kusuma Bangsa, Jalan Ambengan, Jalan Undaan, Jalan Pengampon, Jalan Jagalan, Jalan Dukuh, Kertopaten, Daerah Ampel, Pegirian, Wonokusumo, hingga ke Tanjung Perak.




Teman-teman yang tinggal di Surabaya, mungkin tahu bagaimana karakter dan kehidupan sosial di daerah itu. Ya daerah pinggiran yang kental dengan aroma pendatang, bisa disebut juga “imigran gelap lokal”, karena sebagian besar dari mereka tidak punya KTP, bahkan kehidupan mereka layaknya tamu tak diundang, mereka berpacu melawan hidup dengan bertahan di lapak-lapak liar, di samping gedung-gedung tua yang tak berpenghuni dan tak terawat, atau kadang di kolong jembatan hingga emperan pasar.

Orang-orang yang berada di kawasan ini, tanpa bermaksud menyudutkan suku-suku tertentu, kebanyakan dari pulau Madura, karena Tanjung Perak yang berdekatan dengan pulau Karapan Sapi ini, adalah pintu masuk utama ke kota Surabaya sebelum adanya Jembatan Suramadu. Ada juga pendatang dari kota Lamongan, Bojonegoro, Tuban dan beberapa daerah dari timur Surabaya.

Kehidupan “imigran lokal” ini, 80% berada pada level menengah ke bawah. Pekerjaan yang mereka geluti sangat beragam, mulai dari pedagang pakaian, pedagang makanan, pedagang kaki lima, buruh pabrik, kuli bangunan, kuli pasar, tukang becak, pemulung hingga pekerja seni keliling atau gamblangnya pengamen. Namun bukan berarti dari yang saya tuliskan ini, tidak ada yang sukses loh ya, bahkan ada yang sudah menjadi pengusaha ternama, tapi kali ini saya ingin menulis tentang orang pinggiran dulu.

Bertemu dan bergumul dengan mereka, membuat saya trenyuh, prihatin sekaligus bersyukur. Bagaimana tidak, mereka mengeluarkan energi yang lebih banyak dibanding saya, mungkin beratus-ratus persen atau bahkan ribuan persen untuk menuai rupiah, karena ketatnya persaingan ekonomi dalam masyarakat pinggiran.

Sedangkan saya, hanya dengan memetakan sebuah ide, membaca peluang, kemudian menuangkan dalam sebuah karya sederhana dan menekan tombol-tombol pada papan kunci – keyboard laptop, maka jadilah rupiah yang datang menghampiri kotak inbox saya, tanpa harus berpeluh samudra keringat.

Sering saya temui pemulung-pemulung sampah, masih mengais-ngais botol bekas, plastik sisa makanan, atau barang usang yang telah dilupakan pemiliknya, hingga larut malam. Menggunakan seragam kebesarannya, karung besar, penutup muka dari sengat matahari, dan ganco yang sedari siang melekat pada tubuh-tubuh kurusnya.

Ingin rasanya saya berhenti, sekedar menemani mereka menikmati makan malam dari bekal sego kucing- nasi kucing yang mereka bawa dari rumah, seraya ngobrol berapa hasil yang didapat hari ini, kemana mereka akan menjual. Dan sering saya berpikir, seandainya mereka bisa seperti “pemulung” dari Eropa yang memulung barang bekas, kemudian mendaur ulang menjadi sebuah barang seni yang bernilai jutaan rupiah, tentunya mereka tidak akan sekeras itu bekerja, dan malamnya mungkin mereka akan duduk manis membuka ayat-ayat Tuhan. Tapi siapakah yang bisa membantu atau setidaknya menunjukkan jalan yang setingkat lebih tinggi agar mereka memiliki derajat seperti yang Tuhan janjikan apabila kita berilmu.

Lalu, tak jauh dari jalan itu, saya melihat tukang becak yang sedang tertidur dalam becaknya, menahan lapar karena seharian tidak ada penumpang yang mau diantar dengan tenaganya. Beruntung nasib mereka tidak separah teman seprofesinya di Jakarta, yang harus rela membenamkan puing-puing besi becaknya di dasar laut tanjung priuk sebagai pemecah ombak, sekaligus pemecah hidup. Pemerintah Kota Surabaya masih memberikan ruang meski sangat sempit bagi mereka, namun sayangnya roda-roda becak tak lagi menjadi idola, kini becak semakin terpinggirkan oleh roda bermotor.

Jika dilihat dari segi Eco-vironment, harusnya becak menjadi salah satu solusi bagi penanganan polusi kota. Kalau dewasa ini, kota-kota besar mulai populer dengan slogan bike to work, kenapa tidak digalakkan juga mbecak to save energy!
Saya pernah membayangkan, ada kawasan tertentu di Surabaya yang disebut sebagai “No Vehicles Area”, hanya boleh jalan kaki, ngonthel, nggowes, atau ndokar. Kendaraan bermotor hanya boleh mendekat hingga jarak 1km, atau kalau boleh sedikit gila, penggunaan transportasi pribadi dibatasi pada hari sabtu minggu saja. Tapi, pemerintah juga harus sigap tentunya, dalam menyediakan pelayanan transportasi massa yang bermutu dan terjangkau masyarakat, baik dari kelas bawah hingga atas.

Dengan begitu, tidak hanya menghemat energy, tapi selain mengatasi polusi, juga menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Kalau selama ini, orientasi lapangan kerja bagi masyarakat, hanya bergantung pada penanaman modal asing, dengan membangun pabrik-pabrik, kenapa tidak kita manfaatkan kemampuan lokal untuk menambah lapangan kerja? Dan boleh jadi, pemandangan seperti malam ini tidak lagi atau minimal berkurang di kota ini.

Salah satu potensi lokal yang mampu menciptakan lapangan kerja di Surabaya adalah, pembangunan taman-taman kota. Bagaimana tidak, untuk menciptakan kawasan kota dan taman yang bersih, diperlukan tenaga pasukan kuning dan tukang taman yang tidak sedikit.

Kalau dulu Surabaya dikenal dengan kota yang panas, dan kotor, namun sejak Tri Risma Harini, menjabat sebagai Kepala Bapeko hingga sukses menjadi Walikota Surabaya, wajah Surabaya berubah menjadi lebih asri dan teduh, bahkan tahun ini berhasil menyabet penghargaan Adipura, karena bersih dan hijau.

Lalu pernahkah kita pikirkan, hanya dengan membangun taman-taman kota, berapa banyak roda ekonomi yang berputar? Mulai dari jasa pasukan kuning, desain taman, penanggung jawab air untuk kebutuhan taman kota, pedagang makanan, hingga tukang parkir yang menjaga kendaraan pengunjung taman kota tiap harinya.

Dan selanjutnya, harapan saya pada pemerintah Kota Surabaya, pembangunan tidak hanya berhenti pada taman kota, masih ada sungai-sungai yang bisa dimanfaatkan menjadi salah satu media transportasi massa, seperti di Venice dengan gondola nya, yang juga akan menciptakan lapangan kerja bagi wong cilik.

sumber foto : www.antarafoto.com

Selama ini, sungai hanya dimanfaatkan untuk gethek, terbuat dari drum drum kosong kemudian dipasang bilah papan, yang hanya mampu menyeberangkan penumpang dari ujung jalan satu menuju ujung jalan seberang sungai saja. Seandainya, dibuatkan jalur susur kota, perahu-perahu massa, atau mungkin perahu wisata, saya yakin akan banyak roda ekonomi yang berputar. Tapi, satu hal yang harus diingat, kali atau sungai yang bersih, tidak berbau adalah modal yang juga perlu diperhatikan.

Jika semua ini bisa terlaksana, maka serta merta yang namanya pedagang asongan, pedangan kaki lima, penjaja Koran, dan masyarakat akan semakin intens berkegiatan tidak hanya di pinggir-pinggir jalan protokol, sekitar taman, tapi juga di sungai dan batarannya. Kemacetan, polusi, kriminal serta merta juga akan menurun seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, kenyamanan kehidupan kota.

Saya yakin, suatu saat Surabaya akan menjadi kota yang benar-benar nyaman baik bagi warganya maupun pengunjung. Datang ke Surabaya, tidak hanya jalan-jalan ke Mall, tapi berkunjung ke taman, menyusuri sungai sambil menikmati gedung-gedung kota, wisata kuliner di bantaran sungai, atau menuju kawasan bebas polusi.

Dan tentunya hal ini bukan menjadi tanggung jawab Tri Risma Harini saja sebagai walikotanya, tapi bagi seluruh lapisan masyarakat yang berada di dalamnya. Semoga catatan singkat ini menjadi sejentik ide dan semangat bagi pembaca yang cinta Surabaya.

Kota ini butuh orang-orang yang peduli, bukan hanya karena bulan depan akan ada penghitungan suara, tapi karena mereka “Ja ***k cinta mati” sama Surabaya!

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung, sampaikan salam anda disini ya :)