Ketika Aku Jatuh Cinta
Dua hari ini saya sedang menikmati buku kitab
klasik, yang sebenarnya sudah lama saya beli, tapi baru bisa saya baca sejak
dua hari kemarin. Saya memutuskan membeli buku ini karena penasaran dengan
Kitab AL Hikam, yang sering dibicarakan oleh teman lulusan pondok pesantren
Buku berjudul Al – Hikam, Untaian Hikmah Ibnu ’Athaillah,
yang disertai ulasan untuk zaman kita oleh Imam Sibawaih El-Hasany ini
benar-benar mudah dimengerti dan rasanya seperti sedang disayat setiap bagian
jiwa, kemudian dipertanyakan.. Duhai Engkau Jiwa yang telah bersaksi.. apakah
engkau benar-benar telah Melakukan janjimu??
Biasanya saya membaca buku secara urut, tapi kali
ini saya membuka-buka secara acak babnya, seolah sedang diarahkan membuka
bab-bab tersebut. Kata-kata dalam buku ini benar-benar dahsyat menurut saya,
entah bagaimana kalau saya mengerti bahasa Arab, mungkin akan lebih mengharu
biru membacanya.
Saya membuka Bagian 17, tentang Allahlah Sahabat
Sejatimu, dua hari yang lalu saya ada janji ketemu dengan seorang sahabat baik,
perempuan cantik, mandiri dan sukses. Dalam pertemuan itu kami saling sharing baik tentang ilmu bisnis dan
keluarga.
Dia menuturkan bahwa apa yang kita miliki ini
adalah titipan Allah, kita tidak punya Hak Milik hanya Hak Meminjam, dan setiap
apa yang kita temui di dunia ini tidak selamanya akan bersama kita, Hanya
Allahlah yang sejatinya bersama kita, baik dikala senang maupun duka.
Saya merenung lama dalam lembar bab tersebut,
mempertanyakan diri yang sering mengingat Allah dikala susah, itupun kalau
ingat.. padahal Allah itu tidak pernah ingkar terhadap hamba-hambaNya. Dia itu sangaaaaat
dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita.
Semakin saya membaca, semakin saya penasaran dengan
isi buku ini, akhirnya saya membaca dari halaman pertama. Tentang siapa itu
Ibnu ’Athaillah, apa yang ditulis dalam kitab ini, lalu saya teruskan membaca
pada bagian I tentang Berserah Pada Takdir dan Anugerah.
Pada bab ini, saya mengulang membaca halaman
pertama hingga berulang kali, meresapi setiap makna kata-katanya, menyambungkan
dengan jiwa, melaraskan dengan laku. Sungguh saya tercekat di halaman pertama.
Menyadari bahwa Cinta kepada Allah terkalahkan oleh kecenderungan Nafsu.
Dalam bab tersebut, dikatakan.. bahwa manusia
sangat sulit untuk melepaskan kecenderungan hatinya terhadap sesuatu yang
diinginkannya. Manusia seringkali lupa menyertakan ”Kesertaan Allah” dalam
setiap awal langkahnya, kalaupun mereka ingat, terkadang lupa menyertakan ”Kesertaan
Allah” di tengah hingga akhir perjalanannya.
Dan ketika kekecewaan atas apa yang kita lakukan
itu datang, hanya keluh kesah yang sering kita ucapkan. Sungguh Allah itu yang
paling tahu apa yang terbaik, apa yang tepat untuk diri ini, bukan menurut ”kecenderungan”
kita. Dan memang tidak mudah untuk menundukkan ”kecenderungan hati” kepada ”Kecintaan
kita kepada Illahi”
Lembar demi lembar saya baca perlahan, selanjutnya
pada Bagian II, tentang Agar Hati Tak Tertalingi, dikatakan dalam bab ini bahwa
apa yang terungkap dalam kata, sikap dan perbuatan kita adalah cerminan dari
keadaan hati kita. Hati yang baik tergantung pada asupan ruhani yang baik.
Asupan ruhani itu berkaitan dengan keluasan dan kesempitan hati kita dalam membangun kedekatan dengan-Nya. Kedekatan itulah yang akan mewujudkan Cinta! Cinta yang hakiki adalah Cinta kepada Illahi, seperti apakah jatuh cinta itu?
Setiap orang pasti tahu, bagaimana rasanya Jatuh
Cinta, hampir selalu terkenang, ceria dan bersemangat ketika orang yang kita
cintai itu disebut, mata kita berbinar-binar dan semua menjadi indah, tapi ketika
hati tersakiti maka cinta itu perlahan memudar, seolah hidup tak berarti
meratapi diri, mengutuk perjumpaan.. Ah Cinta!
Tentu beda dengan Cinta Hakiki..
Benar kata seorang bijak, yang mengatakan.. ketika
kau bisa merasakan manisnya iman, maka tidak akan ada yang mengalahkan indahnya
Jatuh Cinta, selain Jatuh Cinta kepada Tuhanmu.. tapi apakah saya benar-benar Jatuh Cinta pada
Tuhan?
Lalu saya bertanya pada jiwa,
apakah pernah Tuhan ingkar meski kadang saya lupa
menyapa-Nya
apakah Tuhan lalu mengurangi Cinta-Nya ketika saya ”menyakiti”
–Nya
apakah saya tulus tidak menduakan cinta-Nya dengan
hal-hal yang tidak pantas
pernahkah Tuhan melupakan saya, ketika saya sengaja
melupakan-Nya
apakah Tuhan meminta imbalan ketika saya sedang
bahagia
apakah Tuhan memperlakukan saya tidak baik, ketika
saya kurang baik
Bahkan Tuhan selalu menambahkan rahmat-Nya, meski
berulang kali saya meninggalkan-Nya
Cukup adilkah saya sebagai seorang hamba, yang
tidak berdaya tanpa –Nya
Lalu bersikap sombong, seolah tak pernah ada ”Kesertaan
Tuhan” dalam diri saya
Benarkah saya mencintai-Nya, benarkah saya ikhlas
menjalankan perintah-perintah Nya?
Ketika Aku Jatuh Cinta..
Maka Engkau saja tujuan hamba,
Maka Aku akan berlari menyambut Cinta-Mu
Maka Dunia ini begitu kecil untuk ditaklukkan
Ketika Aku Jatuh Cinta
Maka Engkau saja pelipur hamba
Maka Aku akan tersenyum dalam setiap bara
Maka Lara ini akan lebur dalam senyum ketundukan
Ketika Aku Jatuh Cinta
Maka Engkau saja dalam Jiwa
Maka Hatiku pernuh dengan Rahmat-Mu
Maka Nafasku adalah alunan lembut Cinta-Mu
Ketika Aku Jatuh Cinta
Maka Allah Allah Allah
Maka Ya Rahman Ya Rahman Ya Rahman
Maka Ya Rahim Ya Rahim Ya Rahim
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung, sampaikan salam anda disini ya :)