Ide
untuk membuat sebuah event international, Ijen Festival, berawal dari rasa
sedih saya, yang selalu membaca komentar negatif, semangat pesimis dan sumpah
serapah dari beberapa member grup “Bondowoso” di jejaring sosial Facebook
Grup
yang dibuat oleh Mas Eddy Liant, seorang pria kelahiran Bondowoso, yang menetap
di Bali, sebenarnya ditujukan sebagai ajang temu kangen dan bertukar kabar
tentang kota asal kita, terutama untuk para perantau, dan seiring dengan
berkembangnya gaya hidup masyarakat, semakin banyak orang mengenal facebook,
maka semakin banyak yang bergabung, tidak hanya yang dirantau, tapi juga
orang-orang di Bondowoso sendiri.
Kala
itu, seringkali sumpah serapah terhadap pemerintah, dan pesimis sebagai warga kota kecil yang jauh dari
perhatian pemerintah pusat muncul di wall grup. Saya sedih, karena tidak
sependapat bahwa orang-orang Kota saja yang bisa
maju, orang-orang Kota
saja yang bisa kreatif. dari sinilah saya ingin membuktikan bahwa meski kita
tinggal / berasal dari kota
yang mungkin tidak tercantum dalam peta, kita bisa memberikan sesuatu pada
dunia.
Saya
berpikir bagaimana dan apa yang bisa saya lakukan untuk Bondowoso, sedangkan
saya sendiri tinggal dan bekerja di Surabaya,
untuk menjadi anggota dewan, atau bupati, sepertinya jauh dari karir saya
hehehe.. nah ide membuat sebuah festival, adalah salah satu cara untuk
menjadikan Bondowoso dikenal. Contoh saja seperti Kota Jember, dimana saya
menimba ilmu selama 4 tahun, di Universitas Jember, mereka punya event icon yang dikenal hingga manca,
yaitu Jember Fashion Carnival yang kini menjadi tourism magnet
Berkat
Mas Dinar Fariz & JFCnya, Jember sekarang jauh lebih dikenal dari
Probolinggo yang punya “Bromo” dan “Pekalen” sebagai daya tarik wisata. Kalau dipikir-pikir..
Jember dan Bondowoso sama-sama kota kecil, hanya saja Jember lebih dinamis,
karena ada mahasiswa dan kampus, tapi jika dibandingkan dengan sumber daya alamnya..
Bondowoso jauh diatas Jember ;) Yakin itu!
Lahirnya
Ijen Festival
Sebenarnya di Bondowoso sendiri, sudah ada Festival
yang khas dengan culture Bondowoso,
Festival Muharram, saya turut bangga karena semenjak kepemimpinan Pak Amin,
Bondowoso semakin dinamis dan agamis, tapi sayangnya, festival ini kurang bisa
menarik wisatawan, bahkan lebih cenderung “meniru”
konsep JFC
Nah dari situ, saya ingin membuat sesuatu yang lain
daripada yang lain. Ide menggabungkan antara Festival Budaya, Bahasa, dan Karnaval
itu saya dapatkan dari berbagai sumber.
Pertama, secara tidak sengaja, ada seorang teman
dari Inggris, yang saya kenal dari project komunitas budaya Islam, yang akan
liburan ke Indonesia, dan saya menawarkan kepadanya, untuk mengajar di sekolah
sebagai balas jasa menginap di rumah saya. Akhirnya saya bertemu dengan Ustad
Madzkur, Kepala Seokal MTs. At Taqwa yang menyambut ide baik tersebut.
Dan sejak itu, pihak MTs. At Taqwa mendaulat saya
untuk bisa membantu mengajar di sana, tapi karena saya juga punya kesibukan di
Surabaya, saya hanya bisa menjanjikan English
Super Camp setiap akhir pekan, dengan tujuan meningkatkan kemampuan bahasa
Inggris siswa, karena mereka juga punya program pada setiap Ramadhan, dimana
seluruh siswa wajib ikut Pesantren Ramadhan, dengan jaminan keluar dari
Pesantren mahir baca kitab, mahir bahasa Arab.
Belajar bahasa Asing, bagi sebagian siswa adalah
malapetaka, karena harus menghafalkan grammar, vocabulary dan berbagai macam hal susah dari Guru Bahasa
Asingnya, nah tantangannya bagaimana bisa menjadikan Bahasa Asing itu sesuatu
yang menyenangkan dan siswa tidak takut belajar serta tidak takut salah.
Gayung pun bersambut, saya senang sekali bisa
membantu meningkatkan kemampuan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, kemudian
saya usulkan ke pihak At Taqwa, kenapa tidak sekalian dibikin acara besar, yang
imbasnya tidak untuk siswa At Taqwa saja, tapi untuk Bondowoso, dan bisa
menjadi daya tarik tersendiri.
Singkat cerita, sebuah ide festival tentang budaya
dan bahasa sedikit tergambar, saya kemudian floorkan di forum Facebook, seperti
sebuah usulan gila pada umumnya, tidak banyak yang menerima dan juga tidak
sedikit yang mencibir J . Namun saya yakin,
setiap niatan baik selalu ada jalan, bertemulah saya dengan Ahmad Basyofi, yang
menyatakan diri mensupport untuk membantu di tim IT. Remaja lulusan SMKN 1
Bondowoso itu, mengajak teman-temannya bergabung dalam tim kepanitiaan On Line,
diantaranya adalah Fahmi Luthfillah, Dian Wahyu, Ceca Sesa, dan Radian Reza.
Tak ketinggalan juga, support moral, masukan ide,
dan finansial datang juga dari Mas Ario Franata yang sedang bekerja di Qatar,
dan Mas Arief Yudhanto yang di Jepang menyatakan diri siap membantu. Mereka
berdua menjadi tim SC (Steering Commitee)
kami. Oh ya.. support 100% juga dari
sahabat traveling saya, Widy, lajang asal Jakarta yang bekerja di Surabaya yang
membantu terlaksananya Ijen Festival
Pertama nama festival ini adalah Bondowoso
Festival, tapi hasil diskusi menyarankan untuk membuat nama yang lebih simpel, dan
mudah diucapkan, karena untuk kelas internasional, nama yang sulit kurang
menarik. Akhirnya kita pilih ‘’Ijen’’ karena spot ini sudah sangat terkenal di dunia. Maka lahirlah IJEN
FESTIVAL
Konsep
Ijen Festival
Konsep Festival yang saya gunakan, sebenarnya
merangkai beberapa konsep festival dan traveling
trend yang sedang menjamur dikalangan muda-mudi dunia.
Pertukaran budaya dan bahasa adalah hal yang sangat
menarik dan mudah membaur bagi wisatawan asing. Selama ini kemasan pertukaran
budaya cenderung kaku dan formal, ditambah lagi kesan belajar bahasa asing bagi
kebanyakan siswa Indonesia adalah hal yang angker, gurunya killer
Pawai dan trip gratis adalah hal yang akan menjadi
daya tarik wisatawan untuk datang. Ide Pawai budaya saya ‘’curi ‘’ dari
kebanyakan festival di Indonesia,
sedangkan trip gratis saya ‘’curi’’ juga dari konsep pemerintahan
Selangor Malaysia, yang beberapa waktu lalu mengundang traveller Asia untuk
datang ke sana, dengan akomodasi tiket pesawat pp, dalam acara My Selangor Story, sebuah acara promo
wisata dengan mendaulat para blogger
(penulis dunia maya) sekaligus memberikan apresiasi hadiah kepada penulis
terbaik.
Dan konsep ‘’Host’’ saya curi lagi dari konsep
cheap traveling trend anak muda, yan
dikenal dengan istilah backpacker. Konsep
ini sudah dikenal lama di dunia, namun baru marak di Indonesia sejak beberapa
tahun. Sebuah jejaring komunitas traveler dunia bernama couchsurfing, yang menyambung
silaturrahim antara traveler dunia, memungkinkan kita untuk bisa melanglang
buana dengan budget minimum, salah satunya menekan biaya hotel, dengan
menumpang menginap di rumah kenalan / host
untuk saling bertukar cerita dan budaya.
Dalam Festival ini, kami mengundang seluruh peserta
khsususnya traveler dari berbagai
belahan dunia. Kenapa traveler ? ya karena komunitas traveler adalah komunitas
yang dinamis, mudah menyesuaikan diri dengan kondisi dan perbedaan budaya. Peserta
minimal berusia 18 tahun, dan sudah memiliki passport / KTP
Mereka dipilih berdasarkan pengalaman, hal-hal
menarik dan antusiasme nya untuk memeriahkan Ijen Festival. Panitia menyediakan
50 seat, dengan pembagian secara adil untuk turis lokal dan turis mancanegara.
Dari ratusan peserta yang mendaftar, akhirnya terpilih 54 peserta, 27 warga
indonesia dan 27 warga asing.
Namun sayangnya mendekati hari – H, banyak peserta
yang mengundurkan diri, dikarenakan ijin cuti sekolah / cuti kerja dari mereka
tidak diperoleh, bahkan ada peserta yang sedang mengikuti ujian kuliah / ujian
skripsi tepat pada hari pertama pelaksanaan Ijen Festival, 8 – 10 Juni 2012.
Meski demikian tak mengurangi kemeriahan pelaksanaan Ijen Festival.
To be continue Ijen Festival part 2
Congratulations! Sayang baru ngerti sekarang. SO nggak bisa ikut berpartisipasi aktif ;-)
ReplyDeletewohooooooooooo seru seru. ditunggu part 2 nya :)
ReplyDeleteterima kasih mas Edyjo.. semoga tahun depan bisa ikutan ya :)
ReplyDeleteAlid.. hehehe thanks ya, ditunggu juga saran kritiknya untuk tulisan saiiiaah :D
Mantap mbak, jadi begitu toh asal mulanya. Hehehe... Jangan patah semangat mencari tempat baru yang lebih 'terbuka' :D Eva
ReplyDelete